SEJARAH DI FILIPINA
Oleh: Trenget Juko Yefendi Daud
Franciscus Bancin
Pendahuluan
Filipina adalah satu-satunya negara di Asia yang penduduknya
mayoritas beragama Kristen (Katolik dan Protestan). Filipina adalah negara
bekas jajahan Spanyol (dan kemudian Amerika, bila dapat disebut demikian).
Pemerintah Spanyol sangat mendukung pekabaran Injil di negeri jajahannya.
Adalah penting untuk mempelajari sejarah perkembangan
kekristenan di negara ini, untuk mendapatkan masukan penting pagi perkembangan
gereja selanjutnya. Sekalipun harus diakui bahwa pengaruh konteks budaya
setempat memikili peran penting, namun tidak dapat disangkal bahwa perkembangan
kekristenan di Filipina adalah fenomenal.
Berbeda dengan negara-negara Asia lainnya, bangsa Filipina
pada umumnya penganut animisme, sehingga belum ada agama formal yang mendarah
daging dalam bentuk kebudayaan yang kuat yang menentang kekristenan. Inilah
faktor utama dari pesatnya perkembangan kekristenan di negara tersebut.
Perkembangan Awal
Pekabaran Injil merupakan motivasi utama yang mendorong
penjajahan Felipe II, seorang Katolik Roma yang saleh dan bersemangat
memperjuangkan kekuasaan Gereja Katolik Roma. Pada tahun 1595, Filipina dibagi
menjadi beberapa wilayah misi, tiap wilayah di bawah satu ordo, sehingga mereka
tidak perlu saling bersaing. Sisi ini penting untuk kita perhatikan berkenaan
dengan perkembangan kekristenan di Indonesia. Bila kita mau belajar dari misi
pertama di Filipina, seharusnya kita sadar bahwa kita tidak perlu untuk saling
bersaing antar aliran gereja, bahkan antar gereja. Perpecahan tidak perlu
terjadi kalau kita memiliki perspektif yang sama, yaitu membangun Kerajaan
Allah, bukan kerajaan diri sendiri atau denominasi sendiri.[1]
Strategi yang dipakai oleh para penginjil Spanyol antara
lain adalah dengan kebijakan reduccion (atau transmigrasi dalam arti khusus),
yaitu mengumpulkan orang Filipina dari berbagai desa untuk menetap dalam kota
dimana mereka lebih mudah diperintah dan diajari iman Katolik. Metode pertanian
baru diajarkan, misalnya irigasi, peternakan dan pembajakan guna meningkatkan
kehidupan masyarakat.
.
Pada abad ke-19 timbul pertikaian antara rahib (biarawan)
dengan pastor ‘sekuler’ (yang bukan anggota ordo). Pertikaian tersebut
mempengaruhi gerakan kemerdekaan di Filipina. Kebanyakan rahib adalah orang
Spanyol, sedangkan para pastor ‘sekuler’ adalah orang Filipina. Akibatnya, para
tokoh nasionalis Filipina menganggap para rahib Katolik sebagai tenaga utama
penjajah.
Sebenarnya para rahib diutus sebagai tenaga misi, sehingga
mereka memiliki kweajiban mendewasakan jemaat yang pada gilirannya menyerahkan
tampuk kepemimpinan gereja kepada pemimpin ari Filipina sendiri. Namun
kenyataannya, para rahib tetap tinggal I tempat pelayanan semua dan menjadi
kaya. Salah satu hal yang tidak semestinya adalah bahwa jemaat dikenakan biaya
tinggi untuk pelayanan sakramen. Karena hal itulah maka terjadi pertikaian dan
berlanjut ke revolusi. Pada tahun 1767, semua orang Yesuit diusir dari seluruh
wilayah jajahan Spanyol. Akibatnya memang terjadi kekosongan pelayan yang
sangat menyulitkan Gereja Roma Katolik di Filipina.
Ini adalah pelajaran
yang penting untuk diperhatikan. Panggilan sebagai seorang hamba Tuhan adalah
panggilan yang mulia. Tetapi bila kerakusan nafsu manusiawi mendapatkan tempat,
maka yang terjadi adalah penyelewengan panggilan dan kemudian status sebagai
hamba Tuhan dimanfaatkan untuk kepentingan diri dan kelompoknya sendiri.
Gereja pada Masa Penjajahan Amerika
Setelah itu, pada tahun 1898 terjadi perang antara Apanyol
dengan Amerika. Mei 1898 Angkatan Laut Amerika menghancurkan armada Spanyol di
teluk Manila. Ketika Spanyol kalah, maka cita-cita Filipina merdeka justru
kandas karena akhirnya Amerika menguasai Filipina.
Motivasi Amerika Serikat menguasai Filipina merupakan
campurn alasan strategi, perdagangan dan misi . Kebijakan pemerintah Amerika
sangat berbeda dengan Spanyol. Ada kebebasan beragama dan juga pemisahan gereja
dengan negara. Konsep tersebut tampak dalam kebijakan pendidikan. Tahun 1901
kapal pengangkut AS membawa 600 orang guru dari Amerika. [2]
Dengan kebijakan ini maka Gereja Roma Katolik di Filipina
harus menyesuaikan diri dengan kebijakan baru tersebut. Status sebagai gereja
negara dicabut dan menjadi setara dengan gereja-gereja lainnya.
Dengan terpisahnya urusan agama dan negara, maka gereja
menjadi berkembang pesat. Uskup Methodis James Thoburn datang ke Manila thun
1899. diadakan KKR untuk para tentara
Amerika. Kemudian dilanjutkan oleh Arthur Prautch yang juga
mengadakan pertemuan-pertemuan penginjilan yang terbuka bagi siapa saja.
Gereja-gereja lain juga berkembang dengan pesat.
Banyak orang Katolik pindah ke Protestan dengan alas an
politik. Orang Filipina berbondong-bondong masuk Gereja Protestan sebagai tanda
kemandirian dan kebebasan dari imperialisme Spanyol. Namun dalam situasi ini
terjadi ketegangan antara rohaniawan Filipina dengan pekabar Injil dari
Amerika. Situasi ini diperparah dengan kemarahan orang Filipina terhadap kekuasaan
Amerika di negaranya. Inilah yang menimbulkan perpecahan gereja di sana.
Perkembangan pada Masa 1945-Sekarang
Perkembangan pada Masa 1945-Sekarang
Pembaruan gereja Katolik Roma sejak Konsili Vatikan II
mempengaruhi perkembangan Gerej Katolik Roma di Filipina. Pendidikan
kepemimpinan diberikan porsi penting bagi kaum awam. Tujuannya adalah untuk
mempersiapkan orang Katolik untuk memainkan peran penting dalam masyarakat.
Beberapa organisasi awam muncul pada saat itu, di antaranya: Chatolic Action,
Student Catolic Action, dll.[3]
Sedangkan dari sisi Protestan, perkembangannya bergerak
dalam dua macam keadaan yang saling bertentangan – di satu pihak ada upaya
untuk saling bersatu dan bekerjasma, namun di pihak lain sering terjadi
perpecahan di dalam gereja.
Kesenjangan ekonomi antara Gereja Mandiri Filipina (yang
memiliki banyak anggota tetapi miskin) dan Gereja Episkopal Filipina / Anglikan
(yang memiliki anggota lebih sedikit namun kaya) sangat terasa.
Namun di tengah perkembangan yang demikian, usaha
penginjilan mendapat ‘angin segar’ dan badan-badan penginjilan dan
pemerlengkapan kaum awam bertumbuh dengan pesat. Gereja-gereja Protestan
berkembang secara dramatis sejak tahun 1970-an. Salah satu factor pendukungnya
adalah pekabaran Injil yang agresif dalam konteks jaman yang diwarnai dengan
perubahan yang terus menerus dan ketidaktentuan. Dalam situasi demikian Injil
mendapatkan tempat di hati orang Filipina.
Kesimpulan
Perkembangan
kekristenan di Filipina dapat berkembang dengan pesat karena beberapa faktor.
Pertama adalah bahwa pada awal masuknya kekristenan, orang Filipina belum
memeluk agama resmi dan masih menganut animisme. Faktor kedua yang penting
adalah bahwa gerakan penginjilan yang agresif dan antusias. Peranan kaum awam
ketika dilibatkan secara signifikan juga menjadi faktor pendorong kemajuan
kekristenan.
Kepustakaan
Ruck, Anne. Sejarah Gereja Asia.
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006
Tuggy, A.L., The Philippines Church: Growth in a Changing Society. Grand Rapids: Eerdmans, 1971
Tuggy, A.L., The Philippines Church: Growth in a Changing Society. Grand Rapids: Eerdmans, 1971